Fikih Dakwah

Dakwah dengan Hikmah

Bagikan

Fikih Dakwah dalam Al Qur’an – 6

Oleh : Cahyadi Takariawan

Berdakwah tidak boleh dilakukan dengan gegabah dan sembarangan, karena telah ada rambu-rambu metode yang digariskan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Tidak cukup berbekal semangat dan tekat untuk melakukan dakwah, namun harus disertai dengan pemahaman yang benar tentang bagaimana dakwah harus dilakukan. Allah Ta’ala telah memberikan pedoman dalam menunaikan dakwah, di antaranya dengan metode hikmah sebagaimana firmanNya :

“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. An Nahl : 125).

Ayat di atas memberikan beberapa petunjuk terkait metode dakwah. Di antara pelajaran Fikih dakwah yang bisa kita ambil dari ayat di atas adalah :

Dakwah harus dilakukan dengan hikmah

Salah satu metode dakwah adalah hikmah, sebagaimana perintah ayat di atas. Dari segi bahasa, kata al hikmah menurut kitab Al Qamus Al Muhith, bermakna adil, lembut, kenabian, Al Qur’an, dan bagusnya pemikiran. Adapun dari pengertian syara’, al hikmah memiliki banyak makna, di antaranya adalah ketepatan ucapan dan perbuatan, sebagaimana ditulis dalam Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ar Razy. Dalam kitab Al Bahrul Muhith, hikmah dimaknai sebagai meletakkan segala sesuatu pada proporsinya.

Ath Thabari dan Ibnu Katsir memaknai al hikmah sebagai mengetahui Al Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Kata al hikmah juga bermakna as sunnah, sebagaimana diungkapkan oleh Ath Thabari,  Ibnu Katsir,  dan Ar Razi. Dalam kaitan al hikmah yang bermakna as sunnah, bisa pula didapatkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat ke 129, 151, dan 231; surat Al Ahzab ayat ke 34 dan surat Al Jum’ah ayat ke 2.

Makna-makna tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Seseorang da’i tidak akan bisa berbicara yang benar, berbuat yang benar serta sesuai antara ucapan dengan perbuatan jika tidak memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Demikian pula seseorang da’i tidak akan bisa meletakkan sesuatu secara proporsional jika ia tidak memahami ketentuan syariat yang termaktub dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul.

Dari berbagai pengertian secara bahasa maupun pengertian syara’ di atas, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan hikmah di dalam dakwah adalah berbuat yang tepat dengan cara yang tepat pada waktu yang tepat. Sedangkan Muhammad Abul Fathi Al Bayanuni menyebutkan, di antara aplikasi hikmah dalam dakwah adalah menyusun prioritas (aulawiyat) gerakan, bertahap dalam merealisasikan prioritas gerakan, serta memilih metode yang tepat untuk kondisi dan kapasitas mad’u yang tepat.

Aplikasi metode hikmah telah dicontohkan pada dakwah Nabi Saw

Aplikasi metode dakwah dengan hikmah telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Perilaku beliau yang selalu berlaku lembut dan santun kepada semua orang, namun ada saatnya Nabi mengomando para sahabat untuk mengangkat senjata memerangi musuh, adalah aplikasi hikmah. Ada kalanya menahan diri, tetapi ada pula saat berperang. Ada masanya beliau berdakwah secara siriyah (tertutup), tetapi ada pula masanya untuk berdakwah secara jahriyah (terbuka).

Tahap-tahap dakwah yang dilalui oleh Nabi saw adalah contoh dari hikmah dalam dakwah. Nabi saw tidak melakukan dakwah dengan memukul rata semua kondisi, semua masa, dan semua manusia. Beliau melakukan dakwah dengan tahapan-tahapan yang jelas sebagaimana pentahapan dalam turunnya Al Qur’an. Apabila tidak bertahap dalam melakukan dakwah, justru akan memunculkan ketidaksiapan masyarakat dalam menerima seruan kebenaran. Aisyah ra pernah menceritakan :

“Sesungguhnya yang diturunkan mula-mula dari surat-surat pendek (Makiyah) berisi di dalamnya peringatan tentang surga dan neraka. Sampai ketika manusia telah teguh kepada Islam, barulah diturunkan tentang halal dan haram. Seandainya yang diturunkan mula-mula dari segala sesuatu adalah, “Jangan kamu minum khamr”, maka sungguh (orang-orang) akan berkata, “Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.” Atau seandainya yang diturunkan mula-mula adalah, “Jangan kamu berzina”, sungguh (orang-orang) akan berkata, “Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya” (Riwayat Bukhari).

Dakwah harus dilakukan dengan pelajaran yang baik

Al Mauizhah al hasanah adalah pelajaran dan peringatan yang baik. Al Khalil berkata, “Al Mauizhah adalah memberi peringatan dengan kebajikan yang membuat hati senang”. Al Hikmah dan mauizhah hasanah disebut dalam kitab Adab Al Bahts wal Munazharah sebagai al burhan (bukti, dalil) dan al khithab (pidato). Allah Ta’ala menghubungkan kata al mauizhah dan al hasanah, yang dalam susunan seperti ini terdapat pengertian ada al mauizhah yang tidak baik, namun yang diperintahkan Allah adalah mauizhah yang baik.

Dengan pikiran jernih kita bisa memahami bahwa dakwah dengan mauizhah dari orang yang tidak mengambil pelajaran dengan apa yang diperingatkan itu, atau tidak melaksanakan sendiri apa yang diserukan itu, bukanlah termasuk mauizhah yang baik. Al Bayanuni menyebutkan aplikasi mauizhah hasanah sebagai nasihat dan peringatan, perkataan yang jelas dan lembut serta berita gembira dan ancaman.

Perdebatan harus dilakukan dengan tepat

Kadang dalam dakwah menuntut dilakukannya sebuah perdebatan. Debat atau jadal (jidal) sebagaimana disebutkan dalam ayat ke 125 surat An Nahl,  dijelaskan oleh Dr. Muhammad Jamil Ghazi:

“Ayat tadi (QS. 16 : 125) membatasi metode dakwah dengan al hikmah dan al mauizhah al hasanah. Karena jika berdakwah dengan dalil-dalil yang meyakinkan, maka itulah al hikmah, dan jika dengan dalil-dalil zhanni maka itu al mauizhah al hasanah. Adapun jadal bukan termasuk dakwah, tetapi ia mempunyai maksud lain yang berbeda dari dakwah, yaitu meyakinkan dan mendiamkan lawan”.

“Karenanya ayat tadi tidak mengatakan ud’u ila sabili rabbika bil hikmah wal mauizhah al hasanah wal jadal al hasan, tetapi ayat tersebut melepaskan jadal dari bagian dakwah karena ingin memberi tahu bahwa ia bukan bagian langkah untuk mencapai dakwah. Ia hanya dimaksudkan untuk membela dakwah dan menolak syubhat, kepercayaan-kepercayaan bathil dan kepalsuan-kepalsuan yang timbul di sekitarnya”.

Dr. Ali Abdul Halim Mahmud memasukkan jadal dalam bagian dari metode dakwah, jika memang jadal itu diperlukan. Namun pelaksanaan jadal harus dengan jalan billati hiya ahsan, dengan cara yang lebih baik, dengan tujuan untuk ihqaqul haq wa izharuhu, membenarkan yang haq dan memenangkannya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Tinggalkan Balasan